PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM BERBASIS MODERASI BERAGAMA DI ERA DIGITAL

  • Ade Surya
  • Disukai 0
  • Dibaca 1498 Kali

BAB I

PENDAHULUAN

 

A.  Latar Belakang Masalah

Tantangan yang dihadapi dunia pendidikan menjadi semakin kompleks, pendidikan diharapkan dapat menyesuaikan dengan keberadaan era kemajuan teknologi  yang semakin berkembang. Modernisasi pendidikan Islam berbasis pendidikan karakter menjadi keniscayaan untuk menciptakan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan zaman generasi milenial. Transformasi pendidikan Islam diperlukan untuk membawa keluar dari krisis dan permasalahan, penguatan lembaga pendidikan Islam juga perlu mendapatkan perhatian, meliputi penguatan manajeman pendidikan Islam, penguatan kepemimpinan pendidikan Islam dan reformasi kebijakan pendidikan, dengan dengan tujuan untuk membentuk generasi seutuhnya dan manusia unggul yang berdaya saing yaitu manusia kreatif, inovatif, berkarakter, mandiri, cinta tanah air dan religius untuk menghadapi digital di mana manusia dituntut serba cepat, tepat, efektif dan efisien.[1]

Era  digital  merupakan  kondisi  dimana  setiap  orang  dapat  mengakses  berbagai infomasi dalam jaringan (daring). Berbagai informasi di era ini tersedia secara bebas di dunia  maya  yang  memudahkan  siapa  saja  untuk  mengaksesnya  tanpa  batas  ruang  dan waktu. Dunia menjadi tidak ada sekat sama sekali setalah ditemukannya sistem digital. Setiap  orang  terutama  yang  lahir  sebagai digital  native  memiliki  kecenderungan  untuk mencari  informasi  melalui  internet.  Mereka  lebih  suka  memanfaatkan  fitur-fitur smart phone  atau  perangkat  teknologi  lain  untuk  berselancar  di  dunia  maya  baik  untuk mencari  hiburan  atau  untuk  memenuhi  kebutuhan  primer.  Musik  dan  dan  film  dapat dinikmati  secara  langsung  atau  diunduh  terlebih  dahulu  secara  gratis  atau  berbayar dengan  tarif  yang  relative  murah.  Untuk  kebutuhan  keilmuan  dan  akses  informasi, seseorang  bisa 

medapatkan  artikel  dengan  bebas  tanpa  persyaratan  sama  sekali  dalam dunia digital.[2]

Era Digital, disebut juga era cyber atau era tanpa sekat dan batasan ruang dan waktu, merangsang sekaligus menumbuhkan kemajuan sains-tecnology yang menghasilkan penciptaan mesin pintar, robot otonom, bahkan Artificial Inteligent (AI). Sehingga menuntut kualitas SDM yang menguasai ilmu pengetahuan dan juga dapat memecahkan masalah-masalah dalam kehidupan masyarakat. Generasi di era milenial merupakan “generasi internet” yang berinteraksi lebih dinamis dan memiliki ruang lingkup keterhubungan tanpa batas. Mereka setiap hari hidup dan bertumbuh dengan dunia digital, sangat akrab dengan teknologi modern seperti tablet, gadget, portable computer dan sistem operasi android, IoS, sebagai samudra informasi yang dapat diakses kapan saja dan dimana saja.[3]

Pentingnya moderasi beragama dalam pembelajaran untuk memilah berbagai kemungkinan yang akan merusak tatanan pendidikan. Berbagai macam teknologi digital yang digunakan terutama bagi pendidik memungkingkan hanya berpaku pada satu media atau metode yang digunakan, guru hanya mengacu pada kurikulum yang sangat terbatas wawasannya, guru atau pendidik yang minim pengetahuan moderasinya, serta lingkungan pendidikan yang mendukung sangat diperlukan untuk menanamkan nilai-nilai moderasi beragama ini. Hal ini tentunya akan memberikan dampak yang signifikan terhadap kualitas pendidikan, khususnya dalam hal nilai-nilai moderasi beragama.

Era digital saat ini menimbulkan berbagai kemungkinan masalah pendidikan agama Islam yang terjadi, misalnya dalam hal metode atau media pembelajaran yang digunakan oleh guru. Karena dituntut oleh kecanggihan teknologi yang harus dipakai, maka guru sesuai kemampuan yang dimiliki memanfaatkan teknologi untuk memberikan materi pelajaran. Namun, hal yang perlu diwaspadai ialah ketika media berbasis digitalisasi, sedangkan guru kurang piawai memanfaatkan teknologi, maka dikhawatirkan kurang mampu memfilter berbagai konten, tayangan, dan tampilan yang berkaitan dengan pembelajaran.

Digitalisasi dalam pembelajaran sangat perlu dan harus dilakukan pengawasan. Konten-konten kekerasan, permusuhan, bahkan hingga kekejamanan kemanusiaan beredar sangat luas dalam media sosial. Peserta didik sebagai penerima pendidikan justru harus diberikan pengertian, betapa pentingnya penggunaan teknologi dalam pembelajaran. Namun, harus tetap dilakukan pemilahan-pemilahan konten yang bersifat positif. Jika salah menggunakan media teknologi, maka pengetahuan tentang konten negatif sudah pasti akan diterima. Misalnya, anak melihat konten tentang aksi terorisme atau pembunuhan, maka mereka akan langsung menyatakan dalam hatinya dibolehkan untuk membunuh, karena konten yang ia lihat tanpa diketahui dasarnya. Sehingga peserta didik akan sangat mudah menerima dan meniru hal-hal apa saja yang ia lihat dalam media sosial.

Masalah tersebut justru sangat menghawatirkan bagi dunia pendidikan Islam. Jika tidak dilakukan pencegahan atau penanganan, maka setiap peserta didik bahkan pendidik akan terpengaruh oleh hal tersebut. Salah satu solusi alternatif yang dapat dilakukan ialah dengan menggunakan konsep moderasi beragama dalam pendidikan agama Islam.  

Pendidikan moderasi beragama sudah banyak diterapkan di berbagai lembaga pendidikan baik formal maupun non-formal. Bahkan, dalam praktik pembelajarannya, moderasi beragama telah banyak mengalami perkembangan. Beberapa penelitian yang fokus pada implementasi dan pengembangan pendidikan moderasi beragama di lembaga pendidikan menunjukkan hasil positif bahwa konsep moderasi beragama mampu meningkatkan kesadaran peserta didik untuk bersikap dan berperilaku moderat.[4]

Moderasi beragama tidak sebatas dalam beragama, tapi lebih luas karena dapat menyentuh berbagai aspek termasuk pengayoman dan pelayanan umat beragama.[5] Hal ini, tentunya akan memberikan pemahaman dan pengajaran yang penting dalam dunia pendidikan Islam. Moderasi dipandang sangat penting ditanamkan sejak dini untuk peserta didik khususnya di era digital saat ini. Sehingga harapan kedepannya ialah setiap lembaga pendidikan akan mampu melahirkan para generasi penerus yang memiliki sifat toleran atau moderat.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Umar Al Faruq dan Dwi Noviani dalam artikelnya yang berjudul Pendidikan Moderasi Beragama Sebagai Perisai Radikalisme di Lembaga Pendidikan menjelaskan bahwa dunia pendidikan di Indonesia dalam kurun terakhir mendapat sorotan tajam dari berbagai kalangan. Berbagai media memberitakan tentang aksi radikalisme dan intoleransi yang cenderung mengalami peningkatan. Hal tersebut berdasarkan pada hasil survey yang dirilis oleh Wahid Institut bahwa radikalisme mengalami peningkatan di tengah masyarakat. Sebanyak 600 ribu dari total 150 juta jiwa orang yang disurvey terpapar radikalisme. Pada sisi lain, terjadi peningkatan aksi intoleransi 46% menjadi 54% atau meningkat 8%. Sedangkan survey PPIM merilis hasil bahwa peningkatan radikalisme justru kebanyakan terjadi di lembaga pendidikan seperti sekolah dan perguruan tinggi. Irnisnya, ternyata tindakan tersebut tidak hanya dilakukan oleh para peserta didik, akan tetapi juga dilakukan oleh para guru dan dosen agama.[6]

Mengacu kepada hasil survey yang telah dipaparkan diatas, dapat diketahui bahwa dalam Pembelajaran Pendidikan Islam di Era Digital harus melakukan transformasi. Selanjutnya juga harus memperhatikan berbagai aspek yang diperlukan untuk menanamkan nilai-nilai moderasi beragama khususnya baik kepada peserta didik maupun guru, metodologi pembelajaran dan lingkungan pendidikan. Dengan demikian, pembelajaran PAI di Era Digital harus sangat diperhatikan. Agar nantinya semakin canggih teknologi era digital ini maka proses pendidikan melalui pembelajaran Pendidikan Agama Islam akan dengan mudah disampaikan.

Proses penyampaian pembelajaran PAI era digital ini justru harus sangat diperhatikan, betapa tidak peserta  didik  zaman  sekarang  mengekspresikan  pikirannya  secara  digital  karena mereka  lahir sebagai masyarakat asli digital. Berbeda dengan dengan orang tua mereka, yang  lahir  sebelum  terjadinya  digitalisasi  sistem  kehidupan  lalu  terjadilah  revolusi digital  yang  manuntut  mereka  hijrah  ke  dunia  teknologi  informasi  yang  mendesaknya untuk   menyelesaikan   dengan   pola   baru   tersebut   dan   mengaplikasikanya   dalam kehidupan   sehari-hari   secara   pelan-palan   dan   butuh   proses   panjang.   Jika   para pendidikan  yang  lahir  sebagai  penduduk  pendatang  di  dunia  digital  tidak  bersiap  diri menerima tantangan ini untuk meningkatkan kemampuan pada level yang sesuai dengan kapasitas siswa, mereka akan jauh ketinggalan.

Ancaman serius dalam pendidikan Islam adalah  tidak  signifikannya  fungsi  guru  sebagai  kelompok  desiminasi  ilmu  pengetahun, pengembang  atau  pengasah  keterampilan  dan  penanaman  nilai  ketika  siswa  mampu menemukan  apa  yang  dibutuhkan  di  luar  kelas  secara  mandiri  tanpa  memerlukan bimbingan expert  (ahli).  Menyikapi  kenyataan  ini,  pendidikan  Islam  harus  direkayasa sedemikian menggunakan fitur digital yang tersedia selama 24 jam.  Dengan teknik ini, pendidikan dapat mengurangi peluang peserta didik mendapat hal  yang  dubutuhkan  tetapi  kualitasnya  belum  tervalidasi.[7]

 Contohnya  sederhananya adalah  saat  ini  di  internet  banyak  sekali  tersedia  materi  tentang  jihat  misalnya  dari berbagai penulis yang background akademik dan kepakarannya dalam tanda tanya. Jika peserta  didik  kebetulan  mengambil  materi  yang  valid  sesuai  rujukan-rujukan  yang diakui oleh para intelektual tidak perlu dipersoalkan, tatapi jika materi yang didapatkan tidak sesuai dengan rujukan yang digunakan oleh umat Islam yang tinggal di Negara ini, potensi  penyimpangan  perilaku  dan  pemahaman  kemungkinan  sangat  besar  terjadi. Akibatnya  sangat  fatal  seperti  terkonstruksinya  pola  pikir  jihadis  ala  ISIS  setelah menbaca  artikel  propaganda  yang  disebarkan  dalam  jaringan.  Langkah  taktis  untuk mengatasinya    adalah    materi-materi    pendidikan    Islam    harus    digitalisasi yang memungkinkan  diakses  oleh  peserta  didik. 

Permasalahan tersebut justru sangat mengenaskan, era digital yang diharapkan akan memberikan keuntungan yang besar bagi dunia pendidikan justru akan berbanding terbalik jika tidak mampu diminimalisir. Masalah digital dalam pendidikan Islam saat ini memang sangat membutuhkan konsep moderasi beragama yang dipandang akan memberikan sebuah pemahamanan tentang bagaimana cara memahami agama dengan tidak terlalu ektrem, berlebihan dan fanatisme.

Tulisan ini secara khusus membahas tentang bagaimana membangun nilai-nilai moderasi beragama dalam pendidikan agama Islam khususnya di era digital. Sehingga nilai-nilai moderasi beragama akan sangat mudah ditransferkan melalui kurikulum atau materi pembelajaran, media dan metode yang digunakan, pendidik dan peserta didik, serta lingkungan pendidikan yang mendukung pelaksanaan proses pendidikan Islam.

B.  Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka rumusan masalah tulisan ini adalah bagaimana konsep pembelajaran pendidikan agama Islam berbasis moderasi beragama di era digital?

C.  Tujuan Penulisan

Mengacu pada rumusan masalah diatas, maka tujuan penulisan adalah untuk mengetahui konsep pembelajaran pendidikan agama Islam berbasis moderasi beragama di era digital.

D.  Manfaat Tulisan

Adapun  manfaat  yang  dapat diperoleh  dari  penulisan  karya tulis  ini  antara  lain:

1.    Memberikan wawasan pengetahuan tentang moderasi beragama dalam ranah pendidikan agama Islam.

2.    Mencegah terjadinya berbagai kasus dan masalah pembelajaran yang bertentangan dengan nilai-nilai moderasi beragama.

3. Terwujudnya para  civitas akademika yang mengedepankan sikap moderat dalam melaksanakan proses pembelajaran.

 

DMetode Penulisan

Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah metode kepustakaan (library research). Menurut Amir Hamzah, penelitian kepustakaan adalah penelitian yang identik dengan analisis teks atau wacana yang menyelidiki suatu peristiwa, baik berupa perbuatan atau tulisan yang diteliti untuk mendapatkan fakta-fakta yang tepat.[8]

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan karya tulis ini adalah sebagai berikut :

Bab I merupakan pendahuluan yang berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan.

Bab II pembahasan, dimana merupakan penjabaran dari rumusan masalah yang merupakan topik utama dalam pembahasan ini, yaitu Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Moderasi Beragama di Era Digital.

Bab III merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran. Serta di bagian akhir dilengkapi dengan daftar pustaka yang merupakan sumber referensi dalam penulisan karya tulis ini.


BAB II

PEMBAHASAN

 

A. Pembelajaran Pendidikan Agama Islam

1.      Pengertian pembelajaran

Pembelajaran memiliki akar kata “belajar”. Belajar yaitu kegiatan berproses yang memiliki unsur yang sangat mendasar dalam kegiatan pendidikan pada setiap jenjangnya. Didi Supriadie dan Deni Darmawan mengatakan pembelajaran atau instruksional adalah konsepsi dari kegiatan belajar dan mengajar. Pembelajaran adalah sebuah proses interaksi edukatif antara peserta didik, guru dan lingkungan yang melibatkan berbagai komponen pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah direncanakan.[9]

Selanjutnya dalam pengertian lain, bahwa Pembelajaran adalah proses yang disengaja dirancang untuk menciptakan terjadinya aktivitas belajar dalam diri individu. Dengan kata lain, pembelajaran merupakan sesuatu hal yang bersifat eksternal dan sengaja dirancang untuk mendukung terjadinya proses belajar internal dalam diri individu.[10]

Sehingga, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran ialah proses yang dilakukan oleh pendidik ke peserta didik melalui proses interaksi dengan menggunaka berbagai macam komponen yang telah disusun dan dirancang untuk mencapai tujuan proses pembelajaran.

2.      Pendidikan Agama Islam

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “pendidikan” berasal dari kata dasar didik dan awalan men, menjadi mendidik yaitu kata kerja yang artinya memelihara dan memberi latihan (ajaran). Pendidikan sebagai kata benda berarti proses perubahan sikap dan tingkah laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan.[11]

Menurut Zakiyah Daradjat yang disitir oleh Abdul Majid dan Dian Andayani bahwa pendidikan agama Islam adalah suatu usaha untuk membina dan mengasuh peserta didik agar senantiasa dapat memahami ajaran Islam secara menyeluruh. Lalu menghayati tujuan, yang pada akhirnya mengamalkan serta menjadikan Islam sebagai pandangan hidup. Di sini, pendidikan agama Islam tidak hanya bertugas menyiapkan peserta didik dalam rangka memahami dan menghayati ajaran Islam namun sekaligus menjadikan Islam sebagai pedoman hidup.[12]

Sehingga, pendidikan agama Islam dapat dimaknai sebagai sebuah usaha yang dilakukan oleh seorang guru dalam rangka mendidik, membina serta mengasuh peserta didik agar senatiasa memahami syariat Islam berdasarkan landasan atau dasar pendidikan Islam yaitu Al-Qur’an dan Sunnah.

3.      Komponen Pembelajaran Pendidikan Agama Islam

Unang Wahidin dan Ahmad Syaefuddin mengatakan, bahwa proses pembelajaran merupakan sebuah sistem yang disebut sistem pembelajaran. Komponen sistem pembelajaran yang dimaksud yaitu: (a) Tujuan pendidikan dan pembelajaran; (b) Perencanaan pembelajaran; (c) Peserta didik; (d) Guru; (e) Metode pembelajaran; (f) Media pembelajaran; dan (g) Evaluasi pembelajaran. Guru PAI dan Budi Pekerti di dalam interaksi edukatif dituntut untuk mampu mengelola komponen-komponen sistem pembelajaran tersebut.[13]

Beberapa komponen pembelajaran yang sangat fundamental harus diperhatikan dalam rangka pembinaan nilai-nilai yang religius pada ranah pendidikan Islam adalah sebagai berikut:

a)    Kurikulum Pendidikan Agama Islam

Kurikulum secara etimologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu curir yang artinya pelari dan curere yang berarti tempat berpacu. Menurut Crew & Crow, seperti dikutip oleh abudin nata yang dimaksud dengan kurikulum ialah rancangan pengajaran yang isinya sejumlah mata pelajaran yang disusun secara sistematis yang diperlukan sebagai syarat untuk menyelesaikan suatuy program tertentu.[14]

Menurut UU RI Nomor 20 tahun 2003 Menurut   sistem   pendidikan   nasional   didefinisikan   kurikulum   terdapat   pada   UU sisdiknas  no.2/1989  dan  UU  no  20/2003  dikembangkan  kearah  seperangkat  rencana  dan pengaturan  mengenai  tujuan,  isi,  dan bahan  bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertetu. Dengan demikian ada tiga komponen yang temuat dalam kurikulum yaitu tujuan, isi, dan  bahan  pelajaran  serta  cara  pembelajaran baik yang berupa strategi pembelajaran maupun evaluasinya.[15]

Kurikulum sebagai pedoman dalam mencapai tujuan dalam pendidikan memiliki posisi yang cukup sentral dalam seluruh kegiatan pendidikan dalam menentukan proses pelaksanaan dan hasil dalam pendidikan. Mengingat begitu pentingnya peranan kurikulum dalam pendidikan terhadap kehidupan manusia, maka pengembangan kurikulum tidak dapat dirancang sembarangan dengan tanpa memperhatikan landasan dalam pengembangan kurikulum.[16]

 Kurikulum sebagai suatu sistem memiliki komponenkomponen yang saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya, yakni tujuan, materi, metode, media, evaluasi. Komponenkomponen tersebut baik secara sendiri maupun bersama menjadi dasar utama dalam upaya mengembangkan sistem pembelajaran. Ada beberapa pendapat yang menegaskan mengenai komponen kurikulum. Ralph W. Tyler menyatakan ada empat komponen kurikulum yaitu tujuan, materi, organisasi dan evaluasi. Senada dengan pendapat tersebut adalah Hilda Taba menulis bahwa komponen-komponen kurikulum itu antara lain tujuan, materi pelajaran, metode dan organisasi serta evaluasi. Komponenkomponen kurikulum saling berhubungan. Setiap komponen bertalian erat dengan komponen lainnya. Tujuan menetukan bahan apa yang dipelajari, bagaiamana proses belajarnya dan apa yang harus dinilai. Demikian pula penilaian dapat mempengaruhi komponen lainnya.[17]

b)   Guru dan Peserta Didik

Guru sebagai seorang pendidik bukan hanya mereka yang mengajar di sekolah. Guru adalah mereka yang dengan tulus mendidik dan mengajar generasi penerus. Kapanpun dan dimanapun. Bahkan, dewasa ini, tidak sedikit 'guru' yang tidak mendidik dan mengajar di sekolah, mereka mendidik dan mengajar dalam setiap lini kehidupan. Justru sebaliknya, sangat banyak diantara kita yang sejatinya bukan 'guru' tapi mengajar di sekolah. Hal iniah yang kemudian menjadi salah satu topik yang sealalu dikaji dalam setiap penelitian, tentang kompetensi yang seharusnya dimiliki oleh seorang pendidik.[18]

Menurut Ahmad D. Marimba, ahmad tafsir mendefinisikan pendidik sebagai siapa saja yang bertanggung jawab terhadap perkembangan anak didik, dengan mengupayakan perkembangan seluruh potensi anak didik, baik afektif, kognitif maupun psikomotorik.

Sedangkan menurut Abudin Nata, didalam Al-Qur’an akan dijumpai informasi bahwa yang menjadi pendidik secara garis besar yaitu sebagai pendidik utama adalah allah swt, sebagai pendidik kedua adalah nabi muhammad saw, sebagai pendidik ketiga adalah orangtua, sebagai pendidik keempat adalah orang lain.[19]

Selanjutnya ialah Peserta didik, yang merupakan satu komponen dalam sistem pendidikan Islam. Peserta didik merupakan raw material (bahan mentah) di dalam proses transformasi yang disebut pendidikan. Berbeda dengan komponen-komponen lain dalam sistem pendidikan karena kita menerima “materiil” ini sudah setengah jadi, sedangkan komponen-komponen lain dapat dirumuskan dan sesuai dengan keadaan fasilitas dan kebutuhan yang ada. Peserta didik secara formal adalah orang yang sedang berada dalam fase pertumbuhan dan perkembangan baik secara fisik, maupun psikis, pertumbuhan dan perkembangan merupakan ciri seorang pendidik yang perlu bimbingan dari seorang pendidik. Pertumbuhan menyangkut fisik, perkembangan menyangkut psikis.[20]

c)    Metode Pembelajaran PAI

Secara etimologis, metode diambil dari bahasa Yunani, metha yang maknanya lewat atau melalui, serta hodos yang maknanya cara, jalan. Metode ialah sebuah cara, jalan yang mesti dilalui dalam rangka mencapai sasaran. Mengajar adalah kegiatan untuk menyampaikan bahan ajar. Dengan begitu, metode pengajaran ialah cara yang mesti dijalankan dalan rangka penyajian materi ajar sehingga target yang ditetapkan terpenuhi. Wina Sanjaya menyatakan bahwa, dalam strategi pembelajaran, metode merupakan bagian pendidikan yang urgen dalam rangka mencapai target yang telah disusun.[21]

Metode memegang peranan utama bagi kegiatan pembelajaran. Metode merupakan fasilitator terkait pendekatan dan model pembelajaran. Disampaikan Nana Sudjana bahwa metode pembelajaran ialah gaya interaksi guru murid saat pembelajaran berlangsung. Dengan demikian, guru harus bisa memilih metode pengajaran sesuai dengan sasaran yang hendak dituju, pas dengan situasi kondisi, dan tahapan perkembangan murid.

Al-Quran secara eksplisit mensinyalir beberapa metode yang bisa diaplikasikan dalam pendidikan islam, diantaranya adalah:[22]

a.       Keteladanan Guru yang berperan di depan panggung kelas harus selalu memberikan contoh positif kepada siswa. Guru akan menjadi sentral perhatian. Semuanya akan dimonitor oleh siswanya.

b.      Metode Kisah-kisah Berkisah memiliki sentuhan khas yang menarik. Pendengar seolah dibawa ke dalam latar dan setting sebagaimana isi cerita.

c.       Nasihat Nasihat biasanya disampaikan dari orang yang lebih tua kepada subjek yang lebih muda. Atau bisa juga dari orang yang berilmu kepada yang membutuhkan.

d.      Habituasi Sasaran utama pendidikan islam adalah akhlak. Akhlak yang baik, bisa tercermin sebagai buah kebiasaan. Alah bisa karena biasa.

e.       Metode Hukuman dan Ganjaran Sudah menjadi kodratnya, bahwa keburukan akan bersanding dengan hukuman, dan kebaikan akan bersanding dengan penghargaan.

f.       Metode Khotbah Paparan melalui ceramah menjadi upaya yang paling banyak digunakan dalam penyampaian materi atau persuasi.

g.        Metode Jidal Pencipta pasti memahami yang diciptakan. Allah sangat memahami karakteristik manusia. Nafsu yang disematkan, pasti akan membawa dampak. Yakni dominannya ego dan idealisme individual. Demi mencapai suatu tujuan, manusia sering berdebat, beradu argumen.

d)   Lingkungan Pendidikan Agama Islam

Lingkungan dalam pengertian secara umum berarti situasi di sekitar kita, dalam kalangan pendidikan arti lingkungan adalah sesuatu yang berada di luar diri anak dalam alam semesta ini. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang dimaksud dengan lingkungan adalah daerah (kawasan dan sebagainya) yang termasuk di dalamnya.[23]

Salah satu sistem yang memungkinkan proses kependidikan Islam berlangsung secara konsisten dan berkesinambungan dalam rangka mencapai tujuannya adalah institusi atau kelembagaan pendidikan Islam. Dari pernyataan ini dapat dipahami bahwa lingkungan pendidikan Islam adalah suatu institusi atau lembaga dimana pendidikan itu berlangsung. Menurut Abudin Nata lingkungan pendidikan Islam adalah suatu lingkungan yang di dalamnya terdapat ciri-ciri ke-Islaman yang memungkinkan terselenggaranya pendidikan Islam dengan baik.[24]

Seperti dalam menggambarkan tentang tempat tinggal manusia pada umumnya, dikenal istilah al-Qaryah yang diulang dalam al-Qur’an sebanyak 52 kali yang dihubungkan dengan tingkah laku penduduknya. Sebagian ada yang dihubungkan dengan penduduknya yang berbuat durhaka lalu mendapat siksa dari Allah Swt, diantaranya terdapat dalam QS. Al-A’raf ayat 4 sebagai berikut:

 

 

 

 

 


“Berapa banyak negeri yang telah Kami binasakan, maka datanglah siksaan kami (menimpa Penduduknya) diwaktu mereka berada di malam hari, atau di waktu mereka beristirahat di tengah hari.” (Q.S. al- A’râf: 4).

 

Kata qoryah diartikan sebagai negeri. Negeri juga bisa diartikan sebagai lingkungan. Dalam ayat tersebut, Allah musnahkan beberapa negeri karena penduduknya berbuat durhaka. Artinya, lingkungan mereka yang berbuat durhaka kepada Allah, Allah binasakan mereka.[25]

Pendidikan merupakan salah satu kewajiban pertama bagi orang tua, orang tua sebagai warga negara berhak menuntut kepada pemerintah. Bila rumah tangga tidak mampu melaksanakan tugas dan kewajibannya dalam pendidikan maka negara harus turun tangan. Ki Hajar Dewantara dalam Abu Ahmadi, dkk. mengemukakan, “Sistem Tricentra” di dalam hidup anak-anak setidaknya terdapat tiga tempat pergaulan yang menjadi pusat pendidikan yang amat penting baginya yaitu: (1) alam keluarga, (2) alam perguruan dan, (3) alam pemuda. Ketiga pusat itu dikenal dengan istilah “Tri Pusat Pendidikan” yang meliputi: keluarga, sekolah dan masyarakat.[26]

Pertama, lingkungan keluarga sebagai penanggung jawab utama terpeliharanya fitrah anak. Kedua, lingkungan sekolah untuk mengembangkan segala bakat dan potensi manusia sesuai fitrahnya sehingga manusia terhindar dari penyimpanganpenyimpang. Ketiga, lingkungan masyarakat sebagai wahana interaksisosial bagi terbentuknya nilai-nilai keagamaan dan kemasyarakatan.[27]

B. Konsep Moderasi Beragama

1. Pengertian Moderasi Beragama

  Secara konseptual, moderasi beragama dibangun dari kata moderasi. Kata moderasi sendiri diadopsi dari bahasa Inggris moderation yang Implementasi Moderasi Beragama Dalam Pendidikan Islam artinya sikap sedang, sikap tidak berlebih-lebihan, dan tidak memihak. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata ‘moderasi’ diambil dari kata moderat yang berarti mengacu kepada makna perilaku atau perbuatan yang wajar dan tidak menyimpang, berkecenderungan ke arah dimensi atau jalan tengah, pandangannya cukup, dan mau mempertimbangkan pandangan pihak lain.[28]

Kata moderasi berasal dari Bahasa Latin moderatio, yang berarti ke-sedang-an (tidak kelebihan dan tidak kekurangan). Kata itu juga berarti penguasaan diri (dari sikap sangat kelebihan dan kekurangan). Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyediakan dua pengertian kata moderasi, yakni: 1. n pengurangan kekerasan, dan 2. n penghindaran keekstreman. Jika dikatakan, “orang itu bersikap moderat”, kalimat itu berarti bahwa orang itu bersikap wajar, biasa-biasa saja, dan tidak ekstrem.[29]

Sedangkan dalam bahasa Arab, moderasi dikenal dengan kata wasath atau wasathiyah, yang memiliki padanan makna dengan kata tawassuth (tengah-tengah), i’tidal (adil), dan tawazun (berimbang). Orang yang menerapkan prinsip wasathiyah bisa disebut wasith. Dalam bahasa Arab pula, kata wasathiyah diartikan sebagai “pilihan terbaik”. Apa pun kata yang dipakai, semuanya menyiratkan satu makna yang sama, yakni adil, yang dalam konteks ini berarti memilih posisi jalan tengah di antara berbagai pilihan ekstrem.[30]

Dengan mengartikan “wasatha” sebagai moderat, bahwa moderatnya umat islam itu karena moderatnya manhaj dan sistemnya. Ia tidak ektrem, ia seimbang antara dunia dan akhirat, akhlak da syariahnya da sebagainya. Al-wasatha juga berarti keadilan da keadilan itu berarti moderat atau kompromi antara dua pihak yang bersengketa, maka jadilah keadilan itu bermakna perdamaian.[31]

Yusuf Al-Qardhawi menjelaskan, sikap wasathiyyah sama dengan al-tawāzun, yaitu upaya untuk menjaga keseimbangan antara dua sisi/ujung/pinggir yang berlawanan atau bertolak-belakang, agar jangan sampai yang satu mendominasi dan menegasikan yang lain. Sebagai contoh dua sisi yang bertolak belakang; spiritualisme dan materialisme, individualisme dan sosialisme, paham yang realistik dan yang idealis, dan lainnya. Bersikap seimbang yang perlu dimunculkan yaitu dengan memberi porsi yang adil dan proporsional kepada masing-masing sisi/pihak tanpa berlebihan, baik karena Implementasi Moderasi Beragama Dalam Pendidikan Islam terlalu banyak maupun terlalu sedikit.[32]

Sesuai dengan ayat Al-Qur’an Surah al-baqarah ayat 143 yang berbunyi:

وَكَذٰلِكَ جَعَلْنٰكُمْ اُمَّةً وَّسَطًا لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاۤءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا ۗ وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِيْ كُنْتَ عَلَيْهَآ اِلَّا لِنَعْلَمَ مَنْ يَّتَّبِعُ الرَّسُوْلَ مِمَّنْ يَّنْقَلِبُ عَلٰى عَقِبَيْهِۗ وَاِنْ كَانَتْ لَكَبِيْرَةً اِلَّا عَلَى الَّذِيْنَ هَدَى اللّٰهُ ۗوَمَا كَانَ اللّٰهُ لِيُضِيْعَ اِيْمَانَكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ

 

“Dan demikian pula kami menjadikan kamu umat Islam, umat pertengahan (adil dan  terpilih),  agar  kamu  menjadi  saksi  atas  seluruh  manusia  dan  agar  Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas kamu” (Q.S. Al-Baqarah: 143)

 

Mengacu pada Tasfir Al-Misbah pada Q.S Al-Baqarah ayat 143, dijelaskan tentang penafsiran ayat tersebut yakni:

“Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu wahai umat islam ummatan wasathan (pertengahan) moderat dan teladan sehingga denga demikian keberadaan kamu dalam posisi pertengahan itu sesuai denga posisi ka’bah yang berada di pertengahan pula. Posisi pertengahan ini menjadikan manusia tidak memihak ke kiri dan ke kanan, suatu hal dimana dapat mengantarkan manusia berlaku adil. Posisi pertengahan menjadikan seseorang dapat dilihat oleh siapa pun dan dalam penjuru yang berbeda, dan ketika itu ia dapat menjadi teladan baik semua pihak. Posisi itu juga menjadikannya dapat menyaksikan siapa pun da di mana pun. Allah menjadikan umat islam pada posisi pertengaha agar kamu, wahai umat islam, menjadi saksi atas perbuatan manusia yakni umat yang lain, tetapi ini tidak dapat kalian lakuka kecuali jika kalian menjadikan rasul saw. Syahid yakni saksi yang menyaksikan kebenaran sikap dan perbuatan kamu dan beliau pun kalian saksika, yakni kalian jadikan teladan dalam segala tingkah laku. Itu lebih kurang yang dimaksud oleh lajutan ayat dan agar rasul Muhammad menjadi saksi atas perbuatan kamu.”[33]

 

Ayat   tersebut   memberikan   isyarat   bagi   seluruh   umat   manusia   agar berlaku  adil dan  terpilih,  moderat  atau berada  ditengah-tengah dalam  segi akidah, ibadah, dan muamalah. Bersikap moderat berarti tidak fanatik apalagi sampai  pada  taraf fanatime lebih-lebih sampai  mengkafirkan  orang  lain.[34] Dalam penafsiran ayat tersebut, pula menjelaskan tentang moderasi beragama yang bermakna bahwa beragama harus moderat yaitu tidak memihak kekiri atau pun kekanan, biasa yang sering disebut dengan umat pertengahan.

Berdasarkan penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan moderasi beragama sebagai sebuah cara pandang, praktik dan perilaku beragama dengan cara mengambil posisi tengah-tengah, kemudian selalu bertindak secara adil dan tidak ektrem (kanan atau kiri).

2. Prinsip-Prinsip Moderasi Beragama

Moderasi merupakan sikap jalan tengah atau sikap keragaman yang hingga saat ini menjadi terminologi alternatif di dalam diskursus keagamaan, baik di tingkat global maupun lokal. Moderasi masih dianggap sebagai sikap keragaman yang paling ideal ketika di tengah kemelut konflik keagamaan mulai memanas. Beberapa prinsip moderasi beragama yang berhubungan dengan kosep Islam wasathiyah adalah sebagai berikut:[35]

 

1.      Tawassuth (mengambil jalan tengah).

Tawassuth adalah pemahaman dan pengamalan agama yang tidak ifrāth, yakni berlebih-lebihan dalam beragama dan tafrīth, yaitu mengurangi ajaran agama.

2.      Tawazun (berkeseimbangan).

Tawazun adalah pemahaman dan pengamalan agama secara seimbang yang meliputi semua aspek kehidupan, baik duniawi maupun ukhrowi, tegas dalam Implementasi Moderasi Beragama Dalam Pendidikan Islam menyatakan prinsip yang dapat membedakan antara inhirāf (penyimpangan), dan ikhtilāf (perbedaan).

3.      I'tidal (lurus dan tegas)

Secara bahasa, i’tidal memiliki arti lurus dan tegas, maksudnya adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya dan melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban secara proporsional. I’tidāl merupakan bagian dari penerapan keadilan dan etika bagi setiap muslim

4.      Tasamuh berarti toleransi.

Di dalam kamus lisan al-Arab kata tasamuh diambil dari bentuk asal kata samah, samahah yang dekat dengan makna kemurahan hati, pengampunan, kemudahan, dan perdamaian,.Secara etimologi, tasāmuh adalah menoleransi atau menerima perkara secara ringan. Sedangkan secara terminologi, tasāmuh berarti menoleransi atau menerima perbedaan dengan ringan hati

5.      Musawah (Egaliter)

Secara bahasa, musawah berarti persamaan. Secara istilah, musāwah adalah persamaan dan penghargaan terhadap sesama manusia sebagai makhluk Allah. Semua manusia memiliki harkat dan martabat yang sama tanpa memandang jenis kelamin, ras ataupun suku bangsa.

6.      Syura (musyawarah)

Kata Syura berarti menjelaskan, menyatakan atau mengajukan dan mengambil sesuatu. Syura atau Implementasi Moderasi Beragama Dalam Pendidikan Islam musyawarah adalah saling menjelaskan dan merundingkan atau saling meminta dan menukar pendapat mengenai sesuatu perkara.

3. Indikator  Moderasi Beragama

Indikator moderasi beragama yang akan digunakan adalah empat hal, yaitu: a) komitmen kebangsaan; b) toleransi; c) anti-kekerasan; dan d) akomodatif terhadap kebudayaan lokal. Keempat indikator ini dapat digunakan untuk mengenali seberapa kuat moderasi beragama yang dipraktikkan oleh seseorang di Indonesia, dan seberapa besar kerentanan yang dimiliki. Berdasarkan beberapa indikator tersebut, maka akan diuraikan sebagai berikut:

a.    Komitmen Kebangsaan

Sebagai indikator moderasi beragama yang paling penting, komitmen kebangsaan ingin melihat sejauhmana praktik beragama seseorang selaras dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila dan UUD 1945 juga regulasi di bawahnya.[36]

b.    Toleransi

Toleransi merupakan sikap untuk memberi ruang yang tidak mengganggu hak orang lain untuk berkeyakinan, mengekspresikan keyakinannya, dan menyampaikan pendapat, meskipun hal tersebut berbeda dengan apa yang kita yakini. Dengan demikian, toleransi mengacu pada sikap terbuka, lapang dada, sukarela, dan lembut dalam menerima perbedaan. Dan toleransi tidak hanya terkait dengan keyakinan agama, namun bisa terkait dengan perbedaan ras, jenis kelamin, perbedaan orientasi seksual, suku, dan budaya.[37]

c. Anti Radikalisme dan Kekerasan

Anti kekerasan sebagai indikator ingin melihat sejauhmana seorang yang beragama mengekspresikan paham dan keyakinannya secara damai tanpa kekerasan (radikalisme), baik di tingkat verbal, fisik, maupun pikiran. Sikap ini nampak terlihat saat ada keinginan untuk melakukanperubahan sosial yang dikehendaki sesuai ideologi keagamaannya. Indikator kekerasan ini terbuka kemungkinan terjadi pada semua agama, bukan hanya agama tertentu.[38]

d.   Akomodatif terhadap Budaya Lokal

Perjumpaan antara agama, khususnya Islam, dan budaya kerap mengundang perdebatan yang cukup panjang dan menyisakan beberapa persoalan. Islam sebagai agama bersumber dari wahyu yang setelah nabi wafat sudah tidak turun lagi, sementara budaya adalah hasil kreasi manusia yang dapat berubah sesuai kebutuhan hidup manusia. Hubungan antara agama dan budaya merupakan sesuatu yang ambivalen. Di titik ini, kerap kali terjadi pertentangan antara paham keagamaan, terutama keIslaman dengan tradisi lokal yang berkembang di masyarakat setempat.[39]

Sikap dan perilaku beragama yang akomodatif terhadap budaya lokal ingin melihat sejauhmana seorang yang beragama bersedia menerima praktik keagamaan yang mengakomodasi kebudayaan dan tradisi lokal. Orang yang moderat mampu mencerminkan sikap ramah dalam menerima tradisi dan budaya lokal dalam keberagamaannya, sejauh hal tersebut tidak bertentangan dengan pokok ajaran agamanya.[40]

C. Konsep Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Moderasi Beragama di Era Digital

1. Moderasi Beragama Dalam Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Era Digital

Moderasi beragama menjadi sebuah tema yang popular belakangan ini. Di era digital, moderasi beragama seringkali disalah artikan oleh beberapa kalangan termasuk praktisi pendidikan. Upaya untuk membangun sebuah sikap moderasi beragama di dunia pendidikan menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi pelaksana pendidikan, khususnya dalam ranah kurikulum yang memuat perangkat pembelajaran dan materi PAI. Sehingga perlu dilakukan pengembangan materi pai yang memuat nilai-nilai moderasi beragama.

Era digital saat ini, Pengembangan materi PAI sebaiknya juga dikemas secara interaktif dan menarik. Salah satu caranya adalah dengan mengintegrasikan berbagai macam media atau yang disebut dengan multimedia. Dengan demikian diharapkan siswa nantinya dapat memilih apa yang akan dikerjakan selanjutnya, bertanya, dan mendapatkan jawaban yang mempengaruhi komputer untuk mengerjakan fungsi selanjutnya. Siswa memiliki kebebasan untuk belajar sesuai dengan keinginannya.Belajar menjadi tidak monoton, mengekang dan menegangkan.

Sedangkan Kurikulum menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 pada pasal 1 Butir 19 tentang sistem pendidikan nasional dikatakan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai pendidikan tertentu. Zais mengatakan bahwa kurikulum dapat dipahami sebagai program mata pelajaran, seperti halnya bahasa inggris, aljabar, sejarah, ekonomi dan lainnya. Ada pandangan lain juga menyebutkan bahwa kurikulum ialah isi mata pelajaran tertentu dalam program atau data informasi yang terekam dalam membimbing pelajar melalui buku catatan yang diperlukan dan disediakan dalam rencana pembelajaran.[41]

Pedoman pengembangan standar kompetensi dan kompetensi dasar menjelaskan bahwa mata pelajaran PAI di sekolah memuat materi Al-Qur’an dan Hadis, Akidah, Akhlak, Fikih, dan Tarikh. Ruang lingkup tersebut menggambarkan materi PAI yang mencakup perwujudan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan hubungan manusia dengan Allah swt, diri sendiri, sesama manusia, makhluk lainnya, maupun lingkungannya. Pendidikan agama di sekolah bertujuan meningkatkan dan menumbuhkan keimanan melalui pemberian dan pemupukan pengetahuan, penghayatan, pengalaman, serta pengalam peserta didik tentang agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang dalam hal keimanan, ketaqwaannya terhadap Allah swt., serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dan dapat melanjutkan pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi.[42]

Dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam berbasis e-learning diimplementasikan dengan pengemasan mata pelajaran, materi PAI dapat dikemas sedemikian rupa dalam halaman web. Materi-materi PAI dapat dikemas secara terpadu jika nantinya web tersebut akan dimanfaatkan untuk siswa-siswa pada sekolah umum. Sedangkan jika akan dimanfaatkan untuk siswa-siswa di madrasah (MI-MTs-MA), materi PAI dapat dikemas secara terpisah. Dengan kata lain ada materi Aqidah Akhlaq, al-Qur’an Hadith, Fiqih, Sejarah Kebudayaan Islam (SKI), atau bahasa Arab. Bahan-bahan materi PAI dapat berupa berbagai macam media yang ada.Bahan-bahan tersebut bisa berupa teks, gambar, suara, video, animasi simulasi, dan lain sebagainya.Bisa jadi materi PAI memadukan satu-dua media, tetapi sangat mungkin juga memadukan semua media yang ada (multimedia).[43]

Pendidikan agama dimaksudkan untuk peningkatan potensi spiritual dan membentuk peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia. Akhlak mulia mencakup etika, budi pekerti, dan moral sebagai perwujudan dari pendidikan agama. Peningkatan potensi spiritual mencakup pengamalan, pemahaman, dan penanaman nilai-nilai keagamaan, serta pengamalan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan individual ataupun kolektif kemasyarakatan. Peningkatan potensi spiritual tersebut pada akhirnya bertujuan pada optimalisasi berbagai potensi yang dimiliki manusia yang aktualisasinya mencerminkan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan. Oleh karena itu, pendidik diharapkan dapat mengembangkan metode pembelajaran sesuai dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar. Pencapaian seluruh kompetensi dasar perilaku terpuji dapat dilakukan melalui penanaman nilai, nilai agama. Peran semua unsur sekolah, orang tua peserta didik dan masyarakat sangat penting dalam mendukung keberhasilan pencapaian tujuan PAI.[44]

Abdul Majid dan Dian Andayani, menjelaskan bahwa materi pendidikan agama Islam berdasarkan rumusan dari pokok ajaran Islam meliputi Akidah (keimanan), syariah (keIslaman) dan akhlak (budi pekerti). Ketiga kelompok ilmu agama itu kemudian dilengkapi dengan pembahasan dasar hukum Islam yaitu Alquran dan Hadis serta ditambah lagi dengan sejarah Islam (tarikh).[45]

Upaya mewujudkan konsep moderasi beragama dalam pembelajaran pendidikan agama Islam memiliki tujuan agar tidak adanya dapat dilihat dari aspek rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang dibuat oleh guru, kemduian materi pembelajaran yang digunakan dan disampaikan oleh guru kepada peserta didik. Hal ini menjadi sesuatu yang sangat penting diperhatikan mengingat era digital saat ini, semua pelaksana pendidikan bebas menggunakannya hingga kapanpun.

Berdasarkan isi kurikulum, konsep moderasi Islam sudah terdapat dalam kurikulum PAI. Namun, dalam implemetasinya masih belum semaksimal, padahal kalau kita konsep moderasi Islam ini dapat menumbuhkembangkan sikap toleran dan inklusif. Namun Pendidikan Agama Islam yang hanya menekankan kebenaran agamanya sendiri dan ketidak-benaran agama lain. Konsepsi pemahaman yang biner seperti iman kafir, muslim non muslim, dan baik benar. Yang sangat berpengaruh terhadap cara pandang siswa terhadap agama lain misalnya mau tidak mau harus ‘dibongkar ulang’. Agar sekelompok penganut agama tidak lagi memandang agama lain. Sebagai agama yang ‘salah’ dan tidak ada jalan keselamatan kecuali dalam agama yang diyakininya.

Kurikulum tak lain merupakan seperangkat materi pendidikan dan pengajaran yang diberikan kepada peserta didik, atau sebuah program yang di bawah bimbingan dan tanggung jawab lembaga pendidikan tertentu.[46] Sehingga pembelajaran pendidikan agama Islam dapat ditanamkan dan diajarkan kepada peserta didik melalui kurikulum yang telah dirancang dengan berbasis moderasi  beragama.

Jika diamati bahwa kurikulum memiliki fungsi yang kuat untuk menjadi pondasi bagi umat beragama untuk hidup dalam kedamaian serta keamanan melalui tindakan-tindakan yang bermoral ditengah-tengah masyarakat. Dalam perkembangannya kurikulum juga memiliki peran yang sangat efektif karena mengandung pesan moral serta nilai-nilai yang positif berkaitan dengan moderasi beragama. Misalnya komitmen kebangsaan, toleransi, antikekerasan dan akomodatif terhadap kebudayaan lokal.

Sehingga muatan-muatan indikator moderasi beragama ini diharapkan akan diaktualisasikan dalam kurikulum pendidikan agama Islam khususnya di era digital. Prinsip dan indikator moderasi beragama juga sangat penting diperhatikan dalam mengajarkan materi PAI di era digital ini. Seperti materi yang disampaikan harus tetap mengadung ajaran agama mengandung spirit dalam menumbuhkan rasa cinta terhadap tanah air dan bangsa, materi juga harus menanamkan nilai-nilai toleransi, tidak mengandung unsur radikalisme dan unsur kekerasa, serta dapat menjaga nilai-nilai keraifan lokal yang ada.

2. Pendidik Sebagai Pelopor Moderasi  Beragama di Era Digital

Pendidikan  merupakan  hal yang sangat fundamental dalam mengentas problematika yang terjadi. Tujuan pendidikan nasional pasal 3 undang-undang sistem pendidikan nasional nomor 20 tahun 2003 yakni : Berkembangnya peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang MahaEsa, berakhlak mulia, sehat berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.[47]

Era digital saat ini mengharuskan Guru  harus mampu menanamkan nilai-nilai moderasi beragama dalam dunia pendidikan Islam dari berbagai sudut pandang. Dengan  pengetahuan yag dimiliki oleh guru tersebut  diharapkan  tercipta proses transfer ilmu kepada peserta didik terkait dengan konsep moderasi beragama. Sebagai  seorang  guru  tidak  hanya  bertugas  transfer ilmu saja, namun dapat menjadi garda terdepan dalam mengamalkan ajaran moderasi beragama dalam kehidupan sehari-hari, sehingga harapannya ialah peserta didik dapat dengan baik menerima setiap pembelajaran da materi yang diberikan.

Oleh karena  itu,  sebagai  seorang  pendidik,  guru  harus  mampu  mengurai perbedaan ras, bahasa, warna kulit dalam mengimplentasikan moderasi beragama  di  sekolah. Sehingga  peserta  didik  dapat  mengambil  contoh  atas tindakan  yang  dilakukan  oleh  guru  itu  sediri  dalam  implementasinya  dalam kehidupan nyata. Hal ini penting dilakukan mengingat semakin berkembagnya teknologi di era digital, maka setiap orang akan dengan mudahnya membuka bahkan melihat berbagai hal yang sifatnya positif hingga negatif.

3. Metode Pembelajaran PAI sebagai Doktrinisasi Konsep Moderasi Beragama di Era Digital

               Salah satu ikhtiar yang dapat dilakukakan Guru PAI dalam melaksanakan proses pembelajaran moderasi Islam yang dipandang efektif adalah melalui penggunaan variasi metode pembelajaran. Melalui berbagai metode pembelajaran, maka moderasi beragama tidak hanya diajarkan sebatas pengetahuan yang ditransfer oleh guru namun peserta didik diajak untuk menganalisa materi yang sudah disampaikan dengan kehidupan nyata di lingkungannya. Peserta didik memperoleh pengetahuan tentang moderasi Islam dengan mengalami dan menghayati sendiri apa yang dipelajarinya. Metode pembelajaran adalah sebuah kesempatan yang harus digunakan oleh guru.

Dalam pembelajaran PAI, prinsip-prinsip moderasi beragama baik itu keadilan, toleransi, keberagaman, keseimbangan dan keteladanan harus dipahami oleh peserta didik secara menyeluruh. Berbagai Metode pembelajaran PAI yang digunakan diyakini lebih bermakna dan efektif dalam upaya untuk menginternalisasi moderasi Islam. Aspek kognitif peserta didik, aspek apektif dan psikomotorik terhadap prinsipprinsip moderasi Islam dapat dimiliki secara baik yang termanifestasikan dalam kehidupan nyata.

 Beberapa metode pembelajaran PAI berbasis moderasi beragama yang dapat digunakan di era digital saat ini ialah:

a)   Metode Diskusi

Peserta didik diarahkan untuk terbiasa mendiskusikan hal-hal yang berkaitan dengan moderasi beragama sehingga terbangun kepahaman dan kesadaran dalam dirinya untuk menerapkan hasil yang didiskusikan dalam kehidupan nyata. Metode diskusi dilakukan agar peserta didik memiliki kemampuan dalam mengamati, memahami dan mengungkapkan persoalan dan mencari solusi yang tepat seputar moderasi Islam. Diskusi akan membentuk pribadi peserta didik agar senantiasa mengedepankan dialog dalam segala aspek kehidupan.

Misalnya, peserta didik mendiskusikan materi tentang toleransi. Dengan menggunakan metode diskusi maka setiap peserta didik berhak memiliki berbagai macam pendapat yang mereka yakini, sehingga dapat disampaikan dan didiskusikan bersama-sama dan aka menghasilkan musyawarah atau kesepakatan bersama. Hal ini sesuai dengan prinsip moderasi beragama yaitu tawasuth, tasamuh dan syura.

Keuntungan metode diskusi dapat dirasakan peserta didik langsung terkait dengan materi yang didiskusikan, yaitu peserta didik dapat bertemu atau bertatap muka langsung dengan lawan bicaranya, apalagi di era digital saat ini diskusi dapat dilakukan denga menggunakan media online atau video call. Metode ini dipandang sangat memudahkan dalam menanamkan konsep moderasi beragama di era digital.

 Dengan metode diskusi, peserta didik dapat memahami makna moderasi Islam baik itu keadilan, toleransi, keseimbangan, keragaman dan keteladanan tidak hanya sebatas konsep dan teks materi pelajaran namun dielaborasi dengan realitas yang terjadi di lingkungannya. Setiap peserta didik dapat menyampaikan pandangannya terkait moderasi Islam. Sehingga materi moderasi Islam dikontruksi oleh peserta didik dan ada upaya peserta didik berpartisipasi secara bertanggung jawab menerapkannya untuk dalam berinteraksi social.

b)   Metode Studi Kasus

Sebuah studi kasus bertujuan untuk menjawab sebuah permasalahan yang telah berkembang atau sedang hangat diperbincangkan disuatu tempat. Dalam hal ini peserta didik diajak untuk mengamati dan mencermati tentang fenomena kasus yang terjadi di masyarakat terkait kekerasan atas nama agama misalnya. Dengan mengunakan studi kasus yang terjadi di masyarakat seperti kekerasan atas nama agama, peserta didik akan mendapatkan pemahaman melalui beberapa pertanyaan. Apa benar agama itu mengajarkan kekerasan, mengapa orang bermusuhan karena berbeda keyakinan, bagaimana supaya kerukunan itu dapat diwujudkan di masyarakat heterogen. Pertanyaan tersebut akan membuka wawasan berpikir peserta didik tentang urgensi memiliki sikap moderasi Islam.

Metode studi kasus ini dapat diterapkan dengan menggunakan berbagai macam teknologi dan internet, guna untuk memberikan kemudahan dalam proses tranfer konsep moderasi beragama dalam ranah pendidikan agama islam. Hal ini sesuai dengan prinsip moderasi beragama yaitu tawazun/berkeseimbangan.

c)    Sosio Drama

                        Metode sosiodrama dan bermain peran ialah penyajian bahan dengan cara memperlihatkan peragaan, baik dalam bentuk uraian maupun pernyataan. Semuanya berbentuk tingkah laku dalam hubungan sosio yang kemudian diminta beberapa orang murid untuk memerankannya. Pelaksanaan metode ini akan lebih maksimal jika dilengkapi dengan atribut yangmenunjang.[48] Metode sosio drama di era digital saat ini, dapat diterapkan dengan membuat video hasil peragaan para peserta didik tentang moderasi beragama, sehingga semua lapisa masyarakat umunya dapat melihat dan menikmati hasil peragaan/peran yang telah dimainka. Hal ini justru sangat memudahkan dalam proses menanamka konsep moderasi beragama di dunia pendidikan Islam. Metode sosio drama sesuai dengan prinsip moderasi beragama yaitu Musawah/egaliter.

d)   Film Moderasi Beragama

Dalam proses pembelajaran PAI moderasi Islam, diperlukan adanya motivasi yang akan mendorong peserta didik untuk melakukan suatu pekerjaan sesuai dengan materi yang disampaikan. Pemutaran film pendek dapat menjelaskan kepada peserta didik secara langsung terkait moderasi Islam yang sangat penting untuk melangsungkan kehidupan dalam keragaman dan keadaban. Pemutaran film merupakan media pembelajaran yang akan memudahkan peserta didik untuk memahami pesan materi yang disampai lewat cerita audio visual itu. Keberagaman, keadilan, keseimbangan, toleransi dan keteladanan dapat dilakukan melalui model pembelajaran kontekstual dengan menggunakan media film pendek.

Melalui media film pendek bertemakan moderasi Islam, peserta didik dipahamkan tentang keragaman, keadilan, toleransi, keseimbangan dan keteladanan melalui cerita yang disampaikan di film tersebut yang harus diterapkan dalam kehidupan. Peserta didik akan memiliki sikap yang kuat terhadap pentingnya moderasi Islam sebagai dampak positif yang ditimbulkan dari film. Pemutaran film moderasi beragama dalam pembelajaran di era digital dapat diterapkan sesuai dengan prinsip moderasi beragama yaitu I’tidal atau berarti lurus dan tegas.

Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan, dengan berbagai macam metode pembelajaran PAI yang telah ada, sangat banyak memberikan manfaat dan memudahkan setiap pendidik untuk menanamkan nilai-nilai moderasi beragama bagi peserta didik. Namun, dalam hal ini empat metode diatas dinilai akan memberikan pengaruh yang besar dalam rangka mensukseskan program moderasi beragama didunia pendidikan Islam.

4. Lingkungan Pendidikan sebagai Pondasi Awal Moderasi Beragama

Lembaga pendidikan ialah badan usaha yang bergerak dan bertanggung jawab atas terseleggeranya pendidikan terhadap anak. Jika dikaitkan dengan lembaga pendidikan dalam Islam maka lembaga pendidikan diartikan sebagai badan usaha yang bergerak dalam bidang pendidikan yang memiliki tanggung jawab terhadap perkembangan anak didik seperti keluarga, sekolah atau madrasah, serta lingkungan tempat tinggal. Sedangkan menurut Ki Hajar Dewantara adalah alam pemuda atau masyarakat, karena pada waktu itu pemuda mempunyai pengaruh besar. Dengan demikian, maka terdapat empat unsur pusat pendidikan yaitu: a) keluarga, b) sekolah, c) masyarakat dan d) tempat ibadah. [49]Berikut ini akan dipaparkan tentang tiga lingkunga pendidikan yang berperan dalam menanamkan konsep moderasi beragama di era digital, yaitu:

a)    Pendidikan Keluarga

Keluarga merupakan bagian dari lembaga pendidikan informal yang memiliki pengaruh terhadap perkembangan anak baik perkembangan motorik, perkembangan kinestetik maupun perkembangan lainnya. Selain itu, keluarga juga disebut sebagai satuan pendidikan luar sekolah. Keluarga memiliki peranan yang sangat penting dalam mendidik setiap anak. Keluarga merupakan masyarakat alamiah yang pergaulan di antara anggotanya bersifat khas, dalam lingkungan keluarga terletak dasar-dasar pendidikan.[50]

 Dalam keluarga, pendidikan berlangsung dengan sendirinya sesuai dengan tatanan pergaulan yang berlaku di dalamnya. Keluarga adalah lingkungan pertama dan mempunyai peranan penting dan pengaruh yang besar dalam pendidikan anak. Karena keluarga merupakan tempat pertama kali bagi tumbuh kembangnya anak, baik jasmani maupun rohani. Keluarga sangat berpengaruh dalam membentuk aqidah, mental, spiritual dan kepribadian, serta pola pikir anak. Yang ditanamkan pada masa-masa tersebut akan terus membekas pada jiwa dan kepribadian anak dan tidak mudah hilang atau berubah sesudahnya.[51]

Era digital saat ini, menjadikan anak bebas memiliki teknologi canggih seperti gadget yang dipenuhi dengan jaringan internet. Anak dengan sangat cepat memilih dan membuka semua konten yang mereka inginkan. Masalah ini justru sangat mengkhawatirka untuk perkembangan belajar anak dirumah, ditakutka anak aka terpengaruh oleh berbagai macam tayangan yang erat kaitannya dengan terorisme, radikalisme, unsur kekerasan dan provokatif. Sehingga orang tua harus memiliki andil penting dalam hal pengawasan.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan orang tua untuk meminimalisir terjadinya hal negatif ialah dengan cara memberikan pengajaran dan pengalaman tentang konsep moderasi beragama. Contohnya orang tua dan anak sama-sama membuka tayangan youtube yang berkaitan dengan siaran moderasi beragama, mengajarkan anak untuk selalu memiliki nilai toleransi dalam keluarga dan lain sebagainya.

b)  Pendidikan di Sekolah

Sekolah atau dalam Islam sering disebut madrasah, merupakan lembaga pendidikan formal, juga menentukan membentuk kepribadian anak didik yang Islami. Bahkan sekolah bisa disebut sebagai lembaga pendidikan kedua yang berperan dalam mendidik peserta didik. Hal ini cukup beralasan, mengingat bahwa sekolah merupakan tempat khusus dalam menuntut berbagai ilmu pengetahuan. Disebut sekolah bilamana dalam pendidikan tersebut diadakan.[52]

Pendidikan di sekolah justru lebih luas dari pendidikan di lingkungan keluarga atau rumah, disekolah mereka justru akan lebih bebas dalam belajar dan bermain. Bertemu dengan berbagai macam karakter teman, berbagai macam suku, ras, agama dan keyakinan. Hal ini justru sangat menghawatirka bagi orang tua.

Salah satu solusi yang dapat dilakukan ialah dengan memilih sekolah yang baik, kualitas sekolah dapat menjamin anak untuk tidak terlibat dalam radikalisme dan kekerasan serta dapat dilakukan pengawasan terhadap keadaan dan materi pembelajaran yang disampaikan oleh guru terhadap anak.

Kemudian, bagi guru yang berhadapan dengan berbagai macam latar belakang anak, maka dapat dilakukan denga cara berkomunikasi dengan orang tua dan anak bahwa dalam lingkungan sekolah sangat pentingnya moderasi beragama seperti toleransi agar anak tidak melakukan tindak kekerasa terhadap anak yang lainnya. Kemudian anak tidak terpengaruh dengan bahaya budaya yang membawa dirinya menjadi terpengaruh untuk bertingkah dan bersikap yang bertentangan dengan ajaran moderasi beragama.

 

c) Pendidikan di Masyarakat

Masyarakat sebagai lembaga pendidikan non formal, juga menjadi bagian penting dalam proses pendidikan, tetapi tidak mengikuti peraturan-peraturan yang tetap dan ketat. Masyarakat yang terdiri dari sekelompok atau beberapa individu yang beragam akan mempengaruhi pendidikan peserta didik yang tinggal di sekitarnya. Oleh karena itu, dalam pendidikan Islam, masyarakat memiliki tanggung jawab dalam mendidik generasi muda tersebut.[53]

Pendidikan masyarakat memiliki pengaruh yang sangat besar juga dalam perkembangan pembelajaran anak, dimana anak yang dalam keluarganya aka mendapat nilai A kemudian diberikan pematangan di lingkungan dengan nilai B, maka lain lagi ketika anak berada dalam lingkungan masyarakat mereka akan mendapatkan asupan bahkan asumsi nilai C.

Sebagai salah satu contoh, saat ini viral berita baik televisi maupun media sosial yaitu tentang Surat Edaran Kemenag RI No 05 Tahun 2022, tentang aturan pengeras suara di masjid da musalla, bagi sebagian orang hal ini justru sangat membahayakan. Namun, sebagian kalangan menganggap hal ini sangat baik da wajar, karena berkaitan dengan sikap saling menghargai satu sama lain dan tidak mengganggu orang lain.

Hal ini jika tidak dilakukan pemahaman baik dari orang tua, guru, tokoh masyakarat da pemuka agama dimasyarakat maka akan terjadi perselisihan Pandangan dan keyakinan, perbedaan pendapat da akhirnya terjadi permusuhan dan kekerasan terutama di media sosial. Seorang anak yang belum mengerti tentang hal ini, akan beranggapan bahwa apa yang mereka lihat di media digital mereka adalah sesuatu yang pasti da benar terjadi. Mereka belum mampu nuntuk membedakan mana yang baik da buruknya, belum dapat bertabayyun terkait persoalan yang mereka lihat da hadapi.

Persoalan seperti ini justru harus dengan tepat ditanggapi, dengan adanya konsep moderasi beragama maka proses pemahaman dan bimbingan anak dalam dunia masyarakat akan dengan cepat disampaika. Bukan hanya itu salah satu upaya yang dapat dilakukan ialah dengan anak berlajar PAI dilembaga yang mengedepankan nilai-nilai moderat, memilih guru pengajian yang paham akan nilai-nilai moderat, kemudian selalu memberika pengawasan dunia bermain anak dimasyarakt yang majemuk atau plura.


BAB III

PENUTUP

 

A.  Kesimpulan

Dari  beberapa  pemaparan  diatas  dapat  diambil  kesimpulan  bahwa pembelajaran pendidikan agama Islam berbasis moderasi beragama di era digital sangat penting, moderasi dapat ditanamkan melalui kurikulum PAI yang ditinjau dari perangkat pembelajaran sepertii RPP dan materi pembelajaran yang mengedepankan rasa cinta terhadap tanah air dan bangsa, menanamkan nilai-nilai toleransi, tidak mengandung unsur radikalisme dan unsur kekerasan, serta dapat menjaga nilai-nilai keraifan lokal yang ada. Kemudian pendidik atau guru   yang memiliki   peran   penting   untuk   memberikan pemahaman  dan  pengertian  yang  luas  tentang  Islam  yang rohmatan  lil  alamin yang  dapat  menghargai  perbedaan. Selanjutnya, Implementasi  moderasi  beragama dalam metode pembelajaran PAI yaitu  dapat  dilakukan dengan  menggunakan berbagai macam metode, tapi terfokus pada metode diskusi, studi kasus, sosio drama, dan pemutaran film moderasi. Terakhir yaitu melalui lingkungan pendidikan yang terdiri dari lingkunga keluarga, sekolah dan masyarakat. Dengan   demikian pembelajaran PAI berbasis moderasi beragama yang mengedepankan  nilai-nilai keberagaman, menghargai  orang  lain,  menghargai  pendapat  orang lain, dan toleran akan  dengan mudah disampaikan. 

B.  Saran

1.      Untuk Guru

Karena banyaknya informasi hoax yang tersebar diera digital saat ini, sehingga dapat menyebabkan terjadi berbagai macam kemungkinan yang bersifat negatif, maka disarankan kepada seluruh guru atau pendidik untuk tetap mengawasi peserta didik dalam proses belajar disekolah khususnya dan diharapkan mampu memberikan nilai-nilai moderasi beragama.

 

 

2.      Untuk Sekolah

Lembaga pendidika formal atau sekolah diharapkan mampu untuk menerapkan berbagai macam materi yang termuat dalam kurikulum pendidikan Islam dengan berlandaskan pada prinsip dan indikator  moderasi beragama.

3.      Untuk Masyarakat

Masyarakat diharapkan dapat bekerja sama dengan guru/sekolah guna untuk menyukseskan pelaksanaan pembelajaran PAI yang berbasis moderasi agama dengan cara mendukung dan berpartisipasi aktif dalam setiap kegiatan sekolah.

4.      Untuk Pemerintrah

Diharapkan dapat meningkatkan edukasi tentang moderasi beragama bagi setiap lembaga pendidikan. Sehingga moderasi beragama aka mampu diterapkan dan direalisasikan oleh khalayak ramai.


DAFTAR PUSTAKA

 

Aceng Abdul Aziz, et. all, Implementasi Moderasi Beragama Dalam Pendidikan Islam (Jakarta Pusat, 2019)

Al Faruq, Umar, and Dwi Noviani. "Pendidikan moderasi beragama sebagai perisai radikalisme di lembaga pendidikan." Jurnal TAUJIH: Jurnal Pendidikan Islam 14.1 (2021)

Alfinnas, Shulhan. "Arah baru pendidikan Islam di era digital." Fikrotuna 7.1 (2018)

Anam, Khoirul, and Amri Amri. "Pendidik dalam Perspektif Pendidikan Islam." Akademika: Jurnal Keagamaan dan Pendidikan 16.1 (2020)

Arifin, M. Fahmi. "Model kerjasama Tripusat Pendidikan dalam Pendidikan Karakter Siswa." Muallimuna: Jurnal Madrasah Ibtidaiyah 3.1 (2018)

Elihami, Elihami, and Abdullah Syahid. "Penerapan pembelajaran pendidikan agama islam dalam membentuk karakter pribadi yang islami." Edumaspul: Jurnal Pendidikan 2.1 (2018)

Hamzah, Amir. Metode Penelitian Kepustakaan (Malang: Literasi Nusantara Abadi, 2020)

Hasbullah, Hasbullah. "Lingkungan pendidikan dalam al-qur’an dan hadis." Tarbawi: Jurnal Keilmuan Manajemen Pendidikan 4.01 (2018)

Hasbullah, Hasbullah. "Lingkungan pendidikan dalam al-qur’an dan hadis." Tarbawi: Jurnal Keilmuan Manajemen Pendidikan 4.01 (2018)

Hidayat, Ahmad Wahyu. "Inovasi Kurikulum dalam Perspektif Komponen-Komponen Kurikulum Pendidikan Agama Islam." SALIHA: Jurnal Pendidikan & Agama Islam 2.1 (2020)

Junaedi, Edi. "Inilah moderasi beragama perspektif Kemenag." Harmoni 18.2 (2019)

Kementerian Agama RI, Moderasi Beragama (Jakarta: Badan Litbang Dan Diklat Kementerian Agama Ri, 2019)

Maghfiroh, Lailatul. "Hakikat Pendidik dan Peserta Didik dalam Pendidikan Islam." MIDA: Jurnal Pendidikan Dasar Islam 2.2 (2019)

Ma'rufah, Afni. "Implementasi Kurikulum Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam (Upaya Mewujudkan Budaya Religius Di Sekolah)." EDUKASIA: Jurnal Pendidikan Dan Pembelajaran 1.1 (2020)

Muthoharoh, Miftakhul. "Pembelajaran Pendidikan Agama Islam berbasis E-Learning di Era Digital 4.0." Attanwir: Jurnal Keislaman dan Pendidikan 11.1 (2020)

Noor, Tajuddin. "rumusan tujuan pendidikan nasional pasal 3 undang-undang sistem pendidikan nasional No 20 Tahun 2003." Wahana Karya Ilmiah Pendidikan 3.01 (2018)

Priyanto, Adun. "Pendidikan Islam dalam Era Revolusi Industri 4.0." J-PAI: Jurnal Pendidikan Agama Islam 6.2 (2020)

Qowim, Agus Nur. "Metode Pendidikan Islam Perspektif Al-Qur’an." IQ (Ilmu Al-qur'an): Jurnal Pendidikan Islam 3.01 (2020)

Rahayu, Luh Riniti, and Putu Surya Wedra Lesmana. "Potensi Peran Perempuan dalam mewujudkan moderasi beragama di Indonesia." Pustaka 20 (2020)

Salim, Moh. Haitami dan Kurniawan, Syamsul, Studi Ilmu Pendidikan Islam (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012)

Samsul, A. R. "Peran Guru Agama Dalam Menanamkan Moderasi Beragama." Al-Irfan: Journal of Arabic Literature and Islamic Studies 3.1 (2020)

Suharto, Babun, et. All, Moderasi Beragama: Dari Indonesia Untuk Dunia (Yogyakarta: LKIS, 2019)

Tuju, Rifky Serva, Babang Robandi, and Donna Crosnoy Sinaga. "Internalisasi Moderasi Beragama dalam Kurikulum Sekolah Tinggi Teologi di Indonesia." Jurnal Teologi Berita Hidup 4.2 (2022)

Wahidin, Unang. "Implementasi Literasi Media dalam Proses Pembelajaran Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti." Edukasi Islami: Jurnal Pendidikan Islam 7.02 (2018)

Wahyuningsih, Fitri. "Pentingnya Pelaksanaan Variasi Metode Oleh Guru Pendidikan Agama Islam Dalam Proses Pembelajaran." Diniyyah 8.01 (2021)

Yunus, Yunus, and Arhanuddin Salim. "Eksistensi Moderasi Islam dalam Kurikulum Pembelajaran PAI di SMA." Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam 9.2 (2018)

Yusuf, Achmad. "Pengembangan Kurikulum PAI Berbasis Multikultural (Perspektif Psikologi Pembelajaran)." Jurnal Al-Murabbi 4.2 (2019)

 



[1] Priyanto, Adun. "Pendidikan Islam dalam Era Revolusi Industri 4.0." J-PAI: Jurnal Pendidikan Agama Islam 6.2 (2020): 82

[2] Alfinnas, Shulhan. "Arah baru pendidikan Islam di era digital." Fikrotuna 7.1 (2018): 804

[3] Priyanto, Adun. "Pendidikan Islam dalam Era Revolusi Industri 4.0...., 80

[4] Al Faruq, Umar, and Dwi Noviani. "Pendidikan moderasi beragama sebagai perisai radikalisme di lembaga pendidikan." Jurnal TAUJIH: Jurnal Pendidikan Islam 14.1 (2021): 63

[5] Babun Suharto, et. All, Moderasi Beragama: Dari Indonesia Untuk Dunia (Yogyakarta: LKIS, 2019), hal. 64

[6] Al Faruq, Umar, and Dwi Noviani. "Pendidikan moderasi beragama...., 61

[7] Alfinnas, Shulhan. "Arah baru pendidikan Islam di era digital...., 808

[8] Amir Hamzah, Metode Penelitian Kepustakaan (Malang: Literasi Nusantara Abadi, 2020), hal. 7

[9] Wahidin, Unang. "Implementasi Literasi Media dalam Proses Pembelajaran Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti." Edukasi Islami: Jurnal Pendidikan Islam 7.02 (2018): 230

[10] Elihami, Elihami, and Abdullah Syahid. "Penerapan pembelajaran pendidikan agama islam dalam membentuk karakter pribadi yang islami." Edumaspul: Jurnal Pendidikan 2.1 (2018): 82

[11] Elihami, Elihami, and Abdullah Syahid. "Penerapan pembelajaran pendidikan agama islam dalam membentuk karakter ...., 83

[12] Elihami, Elihami, and Abdullah Syahid. "Penerapan pembelajaran pendidikan agama islam dalam membentuk karakter ...., 84

[13] Wahidin, Unang. "Implementasi Literasi Media dalam Proses Pembelajaran Pendidikan Agama Islam...., 230-231

[14] Moh. Haitami Salim dan Saymsul Kurniawan, Studi Ilmu Pendidikan Islam (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hal.198-199

[15] Ma'rufah, Afni. "Implementasi Kurikulum Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam (Upaya Mewujudkan Budaya Religius Di Sekolah)." EDUKASIA: Jurnal Pendidikan Dan Pembelajaran 1.1 (2020): 129

[16] Yusuf, Achmad. "Pengembangan Kurikulum PAI Berbasis Multikultural (Perspektif Psikologi Pembelajaran)." Jurnal Al-Murabbi 4.2 (2019): 251

[17] Hidayat, Ahmad Wahyu. "Inovasi Kurikulum dalam Perspektif Komponen-Komponen Kurikulum Pendidikan Agama Islam." SALIHA: Jurnal Pendidikan & Agama Islam 2.1 (2020):115

[18] Anam, Khoirul, and Amri Amri. "Pendidik dalam Perspektif Pendidikan Islam." Akademika: Jurnal Keagamaan dan Pendidikan 16.1 (2020): 87

[19]Moh. Haitami Salim dan Saymsul Kurniawan, Studi Ilmu Pendidikan Islam....,  137-141

[20]Maghfiroh, Lailatul. "Hakikat Pendidik dan Peserta Didik dalam Pendidikan Islam." MIDA: Jurnal Pendidikan Dasar Islam 2.2 (2019):  26

[21] Qowim, Agus Nur. "Metode Pendidikan Islam Perspektif Al-Qur’an." IQ (Ilmu Al-qur'an): Jurnal Pendidikan Islam 3.01 (2020): 37

[22] Qowim, Agus Nur. "Metode Pendidikan Islam Perspektif Al-Qur’an...., 45-47

[23] Hasbullah, Hasbullah. "Lingkungan Pendidikan Dalam Al-Qur’an Dan Hadis." Tarbawi: Jurnal Keilmuan Manajemen Pendidikan 4.01 (2018): 14

[24] Hasbullah, Hasbullah. "Lingkungan Pendidikan Dalam Al-Qur’an...., 15

[25] Hasbullah, Hasbullah. "Lingkungan Pendidikan Dalam Al-Qur’an...., 16

[26] Hasbullah, Hasbullah. "Lingkungan Pendidikan Dalam Al-Qur’an...., 17

[27] Arifin, M. Fahmi. "Model kerjasama Tripusat Pendidikan dalam Pendidikan Karakter Siswa." Muallimuna: Jurnal Madrasah Ibtidaiyah 3.1 (2018):79

[28]Aceng Abdul Aziz, et. all, Implementasi Moderasi Beragama Dalam Pendidikan Islam (Jakarta Pusat, 2019),  hal, 5-6

[29] Kementerian Agama RI, Moderasi Beragama (Jakarta: Badan Litbang Dan Diklat Kementerian Agama Ri, 2019), hal.15

[30] Kementerian Agama RI, Moderasi Beragama...., hal.16

[31] Babun Suharto, et. All. Moderasi  Beragama: Dari Indonesia Untuk Dunia (Yogyakarta: Lkis, 2019), hal.146

[32] Aceng Abdul Aziz, et. all, Implementasi Moderasi Beragama...., hal 7-8

[33] 415.........al-misbah

[34] Samsul, A. R. "Peran Guru Agama Dalam Menanamkan Moderasi Beragama." Al-Irfan: Journal of Arabic Literature and Islamic Studies 3.1 (2020): 41

[35] Aceng Abdul Aziz, et. all, Implementasi Moderasi Beragama...., hal. 10-15

[36]Junaedi, Edi. "Inilah moderasi beragama perspektif Kemenag." Harmoni 18.2 (2019): 396

[37] Rahayu, Luh Riniti, and Putu Surya Wedra Lesmana. "Potensi Peran Perempuan dalam mewujudkan moderasi beragama di Indonesia." Pustaka 20 (2020):33

[38] Junaedi, Edi. "Inilah moderasi beragama perspektif Kemenag ...., 396

[39] Aceng Abdul Aziz, et. all, Implementasi Moderasi Beragama ...., hal 21

[40]  Junaedi, Edi. "Inilah moderasi beragama perspektif Kemenag....,  396

[41]Tuju, Rifky Serva, Babang Robandi, and Donna Crosnoy Sinaga. "Internalisasi Moderasi Beragama dalam Kurikulum Sekolah Tinggi Teologi di Indonesia." Jurnal Teologi Berita Hidup 4.2 (2022): 286

[42]Yunus, Yunus, and Arhanuddin Salim. "Eksistensi Moderasi Islam dalam Kurikulum Pembelajaran PAI di SMA." Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam 9.2 (2018):  185

[43] Muthoharoh, Miftakhul. "Pembelajaran Pendidikan Agama Islam berbasis E-Learning di Era Digital 4.0." Attanwir: Jurnal Keislaman dan Pendidikan 11.1 (2020): 64

[44] Yunus, Yunus, and Arhanuddin Salim. "Eksistensi Moderasi Islam dalam Kurikulum...., 185

[45] Yunus, Yunus, and Arhanuddin Salim. "Eksistensi Moderasi Islam dalam Kurikulum...., 186

 

[46] Yunus, Yunus, and Arhanuddin Salim. "Eksistensi Moderasi Islam dalam Kurikulum Pembelajaran PAI...., 192

[47] Noor, Tajuddin. "rumusan tujuan pendidikan nasional pasal 3 undang-undang sistem pendidikan nasional No 20 Tahun 2003." Wahana Karya Ilmiah Pendidikan 3.01 (2018): 124

[48]Wahyuningsih, Fitri. "Pentingnya Pelaksanaan Variasi Metode Oleh Guru Pendidikan Agama Islam Dalam Proses Pembelajaran." Diniyyah 8.01 (2021): 107

[49]Hasbullah, Hasbullah. "Lingkungan pendidikan dalam al-qur’an dan hadis." Tarbawi: Jurnal Keilmuan Manajemen Pendidikan 4.01 (2018): 17

[50] Hasbullah, Hasbullah. "Lingkungan pendidikan dalam al-qur’an dan hadis." Tarbawi: Jurnal Keilmuan Manajemen Pendidikan...., 17

[51] Hasbullah, Hasbullah. "Lingkungan pendidikan dalam al-qur’an dan hadis." Tarbawi: Jurnal Keilmuan Manajemen Pendidikan...., 17-18

[52] Hasbullah, Hasbullah. "Lingkungan pendidikan dalam al-qur’an dan hadis." Tarbawi: Jurnal Keilmuan Manajemen Pendidikan...., 21

[53] Hasbullah, Hasbullah. "Lingkungan pendidikan dalam al-qur’an dan hadis." Tarbawi: Jurnal Keilmuan Manajemen Pendidikan...., 24


Berikan Komentar
Silakan tulis komentar dalam formulir berikut ini (Gunakan bahasa yang santun). Komentar akan ditampilkan setelah disetujui oleh Admin